Potret Bandung Tempo Dulu

Bandung Tempo Dulu
Bandung Tempo Dulu (Foto: Native Indonesia)

Bagaimana suasana Bandoeng Tempoe Doeloe? Tentu, berbeda dengan saat ini, suasana Bandung Tempo Dulu masih bebas macet.

Mengintip suasana Kota Bandung Tempo Dulu, selain menimbulkan kenangan bagi yang mengalaminya, juga kita akan melihat perubahan yang terjadi.

Warga Kota Bandung “zaman now” tentu mau dan harus tahu juga, bagaimana Bandung masa lalu. Mulai dari kondisi ikon Bandung seperti Gedung Sate dan Alun-Alun, hingga Jalan Braga dan Gedung Merdeka.

Alun-Alun Bandung Dulu
Alun-Alun Bandung Dulu (Foto: Wikipedia)

Jalan Asia-Afrika yang menjadi pusat Kota Bandung, julu bernama Jalan Raya Pos. Jalan ini merupakan awal berdirinya Kota Bandung.

Di sinilah tahun 1810 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels, menancapkan tongkat di suatu titik di sisi De Groote Postweg. Titik itu kemudian dikenal dengan nama Kilometer 0.

Daendels membujuk Bupati Bandung ke-6, Raden Wiranatakusumah II, untuk memindahkan ibu kota Bandung dari Karapyak (16 km selatan Bandung) ke lokasi alun-alun sekarang ini. Kilometer 0 letaknya tak jauh dari pelataran Hotel Grand Preanger.

Baca Juga
Jalan Asia-Afrika Bandung Tempo Dulu
Savoy Homann Jalan Asia-Afrika Bandung Tempo Dulu (Foto: ganzzssparrow.wordpress.com)

Savoy Homann Hotel di Jl. Asia Afrika merupakan hotel pertama di Bandung. Hotel ini awalnya dimiliki dan dijalankan oleh keluarga Homann dari Jerman.

Bermula dari bangunan bambu, hotel itu kemudian direkonstruksi ke gaya neogothik romantik yang sedang populer kala itu. Tahun 1939, A.F. Aalbers ditugaskan mendesain ulang ke gaya streamline art deco.

Charlie Chaplin pernah menginap di hotel ini. Hotel ini juga menjadi tempat penginapan pemimpin Asia dan Afrika kala Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan di Bandung tahun 1955.

Tak jauh dari Savoy Homann kita akan melihat Sungai Cikapundung yang melintasi Jalan Asia- Afrika. Sungai ini menjadi salah satu alasan mengapa Deandels memindahkan ibu kota yang lama ke alun-alun.

Jalan Braga Bandung Tempo Dulu
Jalan Braga Bandung Tempo Dulu (Foto: ganzzssparrow.wordpress.com)

Sungai bersejarah ini merupakan sumber bagi warga dalam mencari sumber air. Pada zaman prasejarah, saat Danau Besar Bandung masih ada, sungai ini berada 30 m di bawah permukaan danau. Manusia prasejarah yang tinggal di perbukitan utara biasa menyeberangi danau sebelum tiba di selatan Bandung untuk suatu urusan.

Alun-alun dianggap sebagai taman publik pertama di Kota Bandung. Konsepnya sama dengan beberapa kota di Jawa lainnya, yakni Catur Gatra.

Jalan Braga
Jalan Braga

Di sebelah selatan ada Rumah Pendopo sebagai pusat pemerintahan. Sebelah barat ada tempat ibadah monumental (Masjid Agung/Masjid Raya). Di sisi timur ada pusat aktivitas komersial (Palaguna dan beberapa bioskop). Di sisi utara didiami rumah penjara (Banceuy).

Banyak yang telah berubah jika mengacu ke awal konsep itu diterapkan. Kondisi alun-alun kini sedang porak-poranda direnovasi, menyusul Mesjid Agung yang telah megah berubah. Mesjid pertama di Bandung yang dibangun tahun 1812 ini telah mengalami beberapa kali renovasi.

Aslinya dirancang bergaya lokal, beratap genteng bersusun tiga, yang mengambil bentuk bawang. Tahun 1955 diubah menjadi Bale Nyungcung (bahasa Sunda untuk bangunan lancip). Kini atapnya berbentuk kubah dengan menara kembar (dulunya lebih rendah dari atap) setinggi 86 m. Ubahan terakhir bisa dikatakan rekonstruksi, bukan lagi renovasi.

Jalan Braga
Jalan Braga (Foto: bandung.kotamini.com)

Pusat aktivitas komersial pun berubah seiring zaman. Dulu ada tiga buah bioskop: Elita, Varia, dan Oriental. Berdekatan dengan Rumah Pendopo ada bioskop Radio City (kini bioskop Dian). Bioskop Elita, yang dulu megah dengan patung garudanya, kini menjadi bangunan kotak berkaca.

Pusat komersial pun kini ada di sebelah utara menggusur penjara Banceuy. Penjara yang dibangun tahun 1877 itu diruntuhkan tahun 1984. Sebagai penanda bahwa di sini pernah dibangun sebuah penjara, disisakanlah sebuah menara pengawas di pinggir jalan (benar-benar di pinggir jalan) berpagar besi dan rantai.

Itu yang tampak dari luar.

Sedangkan di dalam kompleks pertokoan kita bisa melihat ruang sel contoh (meminjam istilah rumah contoh pengembang) – yang kebetulan dulu ditempati Soekarno, presiden pertama RI. Tentu tidak ketinggalan prasasti batu sebagai penanda.

Di pojok alun-alun dekat penjara Banceuy kita akan melihat dua buah bangunan yang masih tampak wajah aslinya: Kantor Pos Bandung dan Gedung Bank Mandiri yang dipisahkan oleh Jln. Banceuy.

Stasiun Kereta Api
Stasiun Kereta Api (www.nativeindonesia.com)

Kantor Pos yang dibangun pada 1928 ini masih difungsikan seperti dulu, Posten Telegraf Kantoor. Bangunan bergaya geometric art deco ini merupakan rancangan J. Van Gent.

Gedung Bank Mandiri awalnya adalah Bank Escompto. Inilah bank pertama di Bandung yang melayani warga maupun tuan tanah Parahyangan. Menara uniknya di sisi barat diberi aksen dua jam bundar kecil.

Tidak jauh dari kawasan Alun-Alun, ada Jalan Braga. Di dekat sini ada sumber mata air yang dianggap keramat oleh warga Bandung, yakni Sumur Bandung.

Jalan Braga menjadi salah satu ikon Kota Bandung. Dulu, setiap sore, jalan ini dipadati pejalan kaki yang hendak bragaderen (ABG kini menyebutnya “mejeng”).

Toko-toko yang ada di sepanjang jalan ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan barang-barang penduduk Bandung yang kebanyakan dari Eropa. Maka, diimporlah makanan dan minuman, pakaian dengan model terkini, dan mobil mewah. Inikah yang membuatnya ia dijuluki The Fifth Avenue of the East? Braga merupakan satu dari tiga jalan pertama di Bandung (lainnya Jln. Asia-Afrika dan Jln. Merdeka).

Jika menyusuri Braga dari bawah ke atas (dulu arahnya dari atas ke bawah), kita akan melintasi rel kereta api. Rel ini sebelum memotong Braga melintasi jalan raya sehingga dikenal dengan Viaduct. Di ujung jalan akan ditemui bangunan putih bergaya neo-classic. Itulah Bank Indonesia (dulu Javasche Bank) dengan warna putihnya yang khas.

Jalan A Yani Kosambi Tempo Dulu
Jalan A Yani Kosambi Tempo Dulu

Selain bangunan, Bandung juga terkenal dengan tamannya. Ada banyak taman. Salah satunya Taman Dewi Sartika. Taman ini dibuat 1864 dan letaknya menyatu dengan Kantor Kodya Bandung yang bergaya geometric art deco. Lalu dalam perjalanan ke Gedung Sate melewati Taman Lalu Lintas dan Taman Maluku.

Taman Lalu Lintas yang dibangun tahun 1910-an ini awalnya bernama Insulinde Park dan digunakan sebagai tempat upacara bagi militer Hindia Belanda. Ya, kawasan ini merupakan kawasan militer. Jangan sembarangan memotret kalau tidak ingin kamera Anda diminta penjaga.

Sedangkan Taman Maluku aslinya Molukkenpark. Yang khas di sini adalah patung pendeta militer Belanda, Verbraak, di sudut utaranya. Omong-omong, dulu taman ini terkenal dengan warianya. Jika melintas malam-malam di sini, dijamin banyak penggoda yang menggoyahkan iman.

Gedung Sate Bandung Tempo Dulu
Gedung Sate Bandung Tempo Dulu (bandung.kotamini.com)

Gedung Sate menjadi penanda Bandung yang gambarnya sering menghiasi kartu pos. Gerber merancang gedung paling monumental di Indonesia ini dalam gaya Indo-Eropa, memadukan bermacam gaya moorish Spanyol, renaissance Italia, art deco, dan Sunda. Gedung ini dibangun secara diagonal menghadap Gunung Tangkuban Perahu. (Sumber: Majalah Intisari, Maret 2004).*

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *