KOTA Bandung memiliki banyak ikon (icon) atau simbol yang menjadi ciri khas. Ikon utama Bandung terpopuler adalah Gedung Sate di Jalan Diponegoro, berseberangan Lapangan Gasibu.
Masih banyak ikon Bandung lain yang sangat indah dan bersejarah, mulai dari Gedung Merdeka, Monumen Perjuangan, Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), hingga yang terbaru Masjid Al-Jabbar di atas danau buatan di kawasan Gedebage, tidak jauh dari Stadion GBLA.
Ke-9 ikon utama Kota Bandung berjuluk Kota Kembang dan Parijs van Java berikut ini, layak menjadi objek wisata akhir pekan Anda. Jangan mengaku pernah ke Bandung jika belum mengunjungi minimal salah satunya.
1. Gedung Sate
Bangunan bersejarah ini disebut Gedung Sate atau Gedong Sate (Sunda) karena memiliki ciri khas berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya.
Gedung Sate dibangun tahun 1920. Pada masa Hindia Belanda, bangunan ini disebut Gouvernements Bedrijven (GB).
Peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Walikota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum tanggal 27 Juli 1920.
Tanggal 3 Desember 1945 terjadi peristiwa yang memakan korban tujuh orang pemuda yang mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurkha.
Untuk mengenang ke tujuh pemuda itu, dibuatkan tugu dari batu yang diletakkan di belakang halaman Gedung Sate. Atas perintah Menteri Pekerjaan Umum tanggal 3 Desember 1970, Tugu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate.
Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf) dan Perpustakaan.
Gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh dan berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat, sekaligus “objek aksi-aksi demonstrasi” masyarakat Bandung dan Jawa Barat.
Keindahan Gedung Sate dilengkapi dengan taman disekelilingnya yang terpelihara dengan baik. Karena keindahan tamannya, lokasi sekitar Gedung Sate sering dijadikan lokasi shooting video klip musik , foto keluarga atau foto diri (selfie), bahkan foto pasangan pengantin.
2. Jembatan Pasupati
Jembatan Pasupati atau Jalan Layang (flyover) Pasupati adalah sebuah jembatan yang menghubungkan bagian utara dan timur Kota Bandung melewati lembah Cikapundung. Panjangnya 2,8 km dan lebarnya 30-60 m.
Dinamakan Pasupati (singkatan dari Pasteur Surapati) karena jembatan ini menghubungkan Jalan Terusan Pasteur (Dr. Djundjunan) dan Jalan Surapati.
Jalan Layang Pasupati juga menjadi salah satu ikon Kota Bandung. Pada malam hari bagian tengah Jembatan Pasupati diterangi lampu sorot warna-warni. Di bawah Jembatan Pasupati terdapat taman yang bernama Taman Pasupati.
Jalan layang Pasupati merupakan jalan layang pertama di Indonesia yang memanfaatkan teknologi anti gempa.
Yang menarik, jembatan ini dilengkapi dengan jembatan cable stayed sepanjang 161 meter yang melintang di atas lembah Cikapundung. Cable stayed merupakan jembatan tanpa kaki.
3. Observatorium Bosscha
Observatorium Bosscha (d/h Bosscha Sterrenwacht) merupakan fasilitas penelitian astronomi milik Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus bersejarah yang juga menjadi salah satu ikon Kota Bandung.
Nama Bosscha diambil dari Karel Albert Rudolf Bosscha, yaitu perintis dan penyandang dana pembangunan Observatorium Bosscha, juga seorang pemerhati ilmu pendidikan khususnya astronomi.
Lahir di Den Haag, Belanda, 15 Mei 1865, ia meninggal di daerah Malabar Bandung, 26 November1928. Ia dikenal sebagai warga Belanda yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pribumi Hindia Belanda pada masa itu.
Observatorium Bosscha berperan sebagai homebase bagi penelitian astronomi di Indonesia. Kegiatan utama Observatorium Bosscha adalah penelitian dan pendidikan. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung, obervatorium ini merupakan pusat penelitian dan pengembangan ilmu astronomi di Indonesia
Observatorium Bosscha adalah lembaga penelitian astronomi moderen yang pertama di Indonesia. Observatorium ini dikelola oleh Institut Teknologi Bandung dan mengemban tugas sebagai fasilitator dari penelitian dan pengembangan astronomi di Indonesia, mendukung pendidikan sarjana dan pascasarjana astronomi di ITB, serta memiliki kegiatan pengabdian pada masyarakat.
Observatorium Bosscha juga mempunyai peran yang unik sebagai satu-satunya observatorium besar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara sampai sejauh ini. Peran ini diterima dengan penuh tanggung-jawab: sebagai penegak ilmu astronomi di Indonesia.
Dalam program pengabdian masyarakat, melalui ceramah, diskusi dan kunjungan terpandu ke fasilitas teropong untuk melihat objek-objek langit, masyarakat diperkenalkan pada keindahan sekaligus deskripsi ilmiah alam raya.
Tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah. Karena itu keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi oleh UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Tahun 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital nasional yang harus diamankan.
Observatorium Bosscha merupakan salah satu tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia. Observatorium Bosscha berlokasi di Lembang, Jawa Barat, sekitar 15 km di bagian utara Kota Bandung.
Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda.
4. Gedung Merdeka
Gedung Merdeka di jalan Asia-Afrika, Bandung, adalah gedung bersejarah yang pernah digunakan sebagai tempat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955. Kini dikenal juga dengan sebutan Museum Asia Afrika.
Kini gedung ini digunakan sebagai museum yang memamerkan berbagai benda koleksi dan foto Konferensi Asia-Afrika yang merupakan cikal bakal Gerakan Non-Blok pertama yang pernah digelar disini tahun 1955.
Bangunan ini pertama kali dibangun tahun 1895 dan dinamakan Sociëteit Concordia sebagai tempat rekreasi dan sosialisasi oleh sekelompok masyarakat Belanda yang berdomisili di kota Bandung dan sekitarnya –para pegawai perkebunan, perwira, pembesar, pengusaha, dan kalangan lain yang cukup kaya.
Pada hari libur, terutama malam hari, gedung ini dipenuhi oleh mereka untuk berdansa, menonton pertunjukan kesenian, atau makan malam.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini dinamakan Dai Toa Kaman dengan fungsinya sebagai pusat kebudayaan.
Pada masa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 gedung ini digunakan sebagai markas pemuda Indonesia guna menghadapi tentara Jepang.
Setelah pemerintahan Indonesia mulai terbentuk (1946 – 1950), Gedung Concordia dipergunakan lagi sebagai gedung pertemuan umum, pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum lainnya.
5. Jalan Braga
Jalan Braga adalah nama sebuah jalan utama di kota Bandung. Lokasi jalan ini berdekatan dengan Gedung Merdeka.
Awalnya Jalan Braga adalah sebuah jalan kecil di depan pemukiman yang cukup sunyi sehingga dinamakan Jalan Culik karena cukup rawan, juga dikenal sebagai Jalan Pedati (Pedatiweg) pada tahun 1900-an.
Jalan Braga menjadi ramai karena banyak usahawan-usahawan terutama berkebangsaan Belanda mendirikan toko-toko, bar dan tempat hiburan di kawasan itu seperti toko Onderling Belang.
Ada dua versi mengenai asal-usul nama Braga atau Braga Weg. Versi pertama, Braga weg diambil dari nama perkumpulan seni sandiwara asal Belanda yang terkenal di daerah itu, yaitu Toneelvereniging Braga yang didirikan tanggal 18 Juni 1882.
Versi kedua, nama Braga berasal dari kata Bahasa Sunda ‘ngabaraga’, yang berarti “berjalan menyusuri sungai” karena Jalan Braga memang berdampingan dengan Sungai Cikapundung.
Pada dasawarsa 1920-1930-an muncul toko-toko dan butik yang mengambil model di kota Paris yang saat itu merupakan kiblat model pakaian di dunia.
Dibangunnya gedung Societeit Concordia yang digunakan untuk pertemuan para warga Bandung khususnya kalangan tuan-tuan hartawan, Hotel Savoy Homann, gedung perkantoran dan lain-lain di beberapa blok di sekitar jalan ini juga meningkatkan kemasyhuran dan keramaian jalan ini.
Jalan Braga kini memiliki sebutan lain, yakni Braga Citiwalk, kawasan tempat untuk Hang Out di kota Bandung, khususnya malam hari dan akhir pekan.
Di Braga City Walk ini terdapat Shooping Mall, Condominium, dan Hotel. Di sekitar Braga City Walk terdapat banyak bangunan bersejarah.
Salah satu bangunan sisa-sisa peninggalan kolonial Belanda yang bisa kita temukan di Jalan Braga adalah Gedung Landmark (Landmark Building).
Pada masa penjajahan Belanda, Landmark Braga ini adalah sebuah toko buku yang diberi nama Van Dorp. Toko Buku ini berdiri cukup lama, bahkan setelah Indonesia merdeka, yaitu dari sekitar tahun 1922 hingga 1960.
Setelah Van Dorp ditutup, gedung ini sempat diubah menjadi gedung bioskop pada tahun 1970. Kini, Gedung Landmark Braga tersebut diubah menjadi “gedung serbaguna” yang setiap minggunya sering diadakan arena pameran, seperti pameran buku dan komputer.
6. Monumen Perjuangan (Monju)
Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (disingkat Monju) berlokasi di Jalan Dipati Ukur KOta Bandung, berdekatan dengan Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Gedung Telkom, serta dekat Gasibu dan Gedung Sate.
Antara monumen dan Gedung sate, ada Taman Kota, Jl. Surapati, Lapangan Gasibu, dan Jl. Diponegoro.
Monju dibangun untuk mengenang jasa para pahlawan asal Jawa Barat. Bentuk monumen ini cukup unik, menyerupai sebuah bambu runcing yang menjadi senjata andalan para pejuang dalam merebut kemerdekaan.
Di monumen ini terdapat relief-relief mengenai perjuangan rakyat Jawa Barat dalam melawan penjajah.
Tujuan dibangunnya Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat adalah sebagai Museum Sejarah Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Monju juga memiliki koleksi yang peristiwa-peristiwa kesejarahan di wilayah Jawa Barat yang ditata di ruangan pameran tetap. Koleksi berupa diorama-diorama dan relief-relief kesejarahan Jawa Barat.
Monumen diresmikan penggunaanya oleh Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana pada tanggal 23 Agustus 1995. Monju memiliki koleksi hanya berupa 7 buah diorama pada ruang pameran tetap, dan tidak sebanding dengan luas ruangan pameran tetap, sehingga banyak area pameran tetap yang masih kosong belum terisi koleksi.
Di samping itu terdapat relief pada bagian dinding depan Monju. Relief ini menceritakan sejarah perjuangan rakyat Jawa Barat mulai dari masa kerajaan, masa pergerakan, masa kemerdekaan, dan masa mempertahankan kemerdekaan dalam melawan penjajahan baik Belanda, Inggris dan Jepang.
Selain itu Monju dilengkapi pula oleh ruang audiovisual, dan ruang perpustakaan yang akan digunakan sebagai sarana dalam memberikan informasi sejarah perjuangan rakyat Jawa Barat bagi pengunjung.
7. Monumen Bandung Lautan Api
Monumen Bandung Lautan Api, merupakan monumen yang menjadi markah tanah Bandung. Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 9 bidang. Monumen ini berada di kawasan Lapangan Tegallega.
Monumen ini dibangun untuk memperingati peristiwa Bandung Lautan Api, saat terjadi pembumihangusan Bandung Selatan yang dipimpin oleh pejuang Muhammad Toha.
Monumen ini menjadi pusat perhatian setiap tanggal 23 Maret guna mengenang peristiwa Bandung Lautan Api.
Dalam catatan sejarah, Bandung Lautan Api terjadi akibat adanya ultimatum dari penjajah Belanda kepada Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk meninggalkan Bandung. Semua rakyat dan pejuang Kota Bandung tidak rela kotanya harus jatuh ke tangan asing.
Akhirnya mereka menyusun siasat dengan bermigrasi ke selatan kota dan melakukan musyawarah. Oleh sejumlah kalangan, pembungihangusan Bandung merupakan langkah yang paling tepat.
8. Stadion GBLA
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) adalah ikon baru Kota Bandung. Stadion olahraga yang berada di Kelurahan Rancanumpang, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, ini berlokasi di antara ruas Jalan Tol Cileunyi-Padalarang KM 151 dan Jalan Bypass Soekarno-Hatta Bandung.
Akses jalan menuju Stadion akan dibuat pintu tol khusus di KM 149 ruas Tol Cileunyi-Padalarang dan ruas jalan dari arah Stasiun KA Cimekar dan dari jalan Rancanumpang. Dibuat juga ruas jalan baru menyusuri tol sekitar 2 kilometer, disamping ruas jalan yang sudah ada.
Stadion ini akan menjadi home base klub sepak bola kebanggan warga Kota Bandung dan masyarakat Jawa Barat, yaitu Persib Bandung.
Hingga tulisan ini dibuat, Stadion GBLA masih dalam tahap penyelesaian akhir, terutama akses jalan masuk ke stadion.
Stadion ini di desain berstandar internasional, rumput yang digunakan adalah dari jenis Zoysia Matrella (Linn) Merr yakni rumput kelas satu standar FIFA.
Stadion ini dilengkapi dengan lapangan sepakbola, atletik, kantor, sirkulasi, tribun atap full keliling, servis, e-board, scoring board dan kursinya tahan api dengan kursi merk Ferco.
Karena standard FIFA itulah jumlah kursi penonton hanya 38.000 orang. Kalau tanpa kursi sebenarnya bisa menampung 72.000 orang.
Gedung Stadion GBLA berlantai 4 dengan luas ruangan 72.000 meter persegi sehingga kalau ditotal dengan fasilitas pendukung lain dapat mencapai 40 hektare. Fasilitas mushola dan toilet berjumlah 766 buah.
Selain itu juga ada ruang VVIP untuk kelas kepala negara presiden dengan kaca anti peluru dan landasan helikopter.
9. Masjid Al-Jabbar Bandung
Masjid Al-Jabbar dikenal juga sebagai masjid terapung. Lokasinya berada di atas danau buatan di kawasan Cimincrang, Gedebage, Kota Bandung. Masjid Al-Jabbar tidak jauh dari Stadion GBLA.
Masjid Agung Al-Jabbar berkapasitas 60 ribu jamaah. Peletakan batu pertama masjid ini dilakukan pada 29 Desember 2017 oleh Gubernur Jawa Barat ketika itu, Ahmad Heryawan.
Masjid ini dibangun di atas danau buatan, sehingga disebut juga dengan Masjid Terapung Gedebage. Lokasi masjid ini dekat dengan berbagai sarana transportasi, salah satunya Stasiun Cimekar, jalur yang akan dilewati kereta cepat Jakarta-Bandung, dan rencana stasiun LRT kota Bandung.
Masjid ini juga direncanakan akan menjadi pusat kesekretariatan ormas Islam di Provinsi Jawa Barat dan Museum Al-Quran.
Danau buatan yang dibangun paralel dengan pembangunan masjid juga memiliki fungsi pengendali banjir, sumber air, dan konservasi habitat.*